Mayat Itu Akhirnya Ditahan Polisi




Cerpen: Oce  E Satria


SEKALI saja, kami mengharapkan kematian yang tidak wajar terjadi di kampung kami, tanah sempit di belakang supermall di kota ini. Kematian yang tenang, tanpa kasak kusuk, tanpa polisi dan tanpa berita di koran kriminal. Seperti yang sudah-sudah.

Dan hari ini kembali maut menjemput seorang warga kampung kami. Tapi bagaimana matinya tidak seorang  pun tahu. Hanya  bisik-bisik mengurai kebingungan, mengapa kerumunan di rumah itu terkesan bertele-tele, tidak seperti biasanya. Biasanya bila ada peristiwa kematian polisi akan segera muncul, menutup tempat kejadian dengan police line. Setelah menginterogasi beberapa orang, lantas membuat catatan, lalu membawa mayat dengan ambulan. Dan, tentu saja dengan tersangka, kalau ada. Selesai. Kerumunan pun bubar. Orang-orang kembali ke kehidupan mereka yang lusuh, remang-remang dan gelap.

Peristiwa kematian, bagi kami bukan perkara yang menggemparkan. Pembunuhan, tawuran  atau kematian karena over dosis narkoba sampai bunuh diri tak ubahnya bagai koran kriminal yang hadir setiap pagi dan siangnya sudah teronggok di atas keranjang pemulung. 

Tapi kali ini urusannya tak seperti yang sudah-sudah.

“Siapa pembunuhnya?” tanya seseorang sambil kepalanya melongok di antara kerumunan.

“Tidak ada pembunuhnya!” jawab yang lain.

“Oo, bunuh diri. Patah hati ‘kali!”

“Hussy! Bukan bunuh diri!”

“Maksud ente, OD?”

“Kalo OD mah ketahuan dari mulutnya. Ada busanya. Kulitnya juga nggak ada bekas suntikan. Lihat saja!”

Setelah bersusah payah menyeruduk kerumunan akhirnya aku bisa sedikit mengintip ke dalam rumah di antara ketiak orang. Sesosok mayat perempuan terbujur kaku di lantai bersemen kasar, di atas karpet plastik. Astaga! Kustiyah? Aku terkesiap ketika mengenali wajahnya. Bukankah aku sering memberinya tumpangan sampai ke pangkalan taksi? Dan biasanya beberapa lembar  ribuan selalu dipurukkan ke kantong jaketku. Tentu saja disertai dengan sebuah senyum dan kedipan genitnya.   

Polesan lipstik dan bedak terlihat masih baru membalur bibir dan wajahnya. Rambutnya masih basah. Ia terlihat menggairahkan, terutama karena balutan kaos ketat  dan celana jeans yang membungkus tubuh montoknya.

“Sejam yang lalu dia masih belanja sampho di warung saya,” Kasna memberi kesaksian. Ia duduk bersimpuh menghadap si mayat.

“Ya, lagi pula tidak  ada tingkahnya yang  aneh-aneh!” Seorang laki-laki berkumis tebal menimpali.

Pak Sudi, ketua RT melepas sarung yang membebat pinggangnya, mengibarkannya, lantas menutup wajah mayat itu. Seorang yang lain kemudian menyerahkan sarungnya untuk menutupi bagian tubuh lainnya.

“Dia meninggal tanpa campur tangan orang lain. Tidak ada tanda-tanda mencurigakan,  bukan?” Pak Sudi memberi kesimpulan. “Ayo kita urus saja mayat ini. Tidak mungkin  polisi ikut campur, ini bukan peristiwa hukum. Ini bagian kita.”

Jadi benar seperti dugaanku. Bila tidak ada polisi yang datang berarti dia mati tidak sebagaimana lazimnya. Tidak ada peristiwa aneh-aneh yang mendahului kematiannya. Makanya sejauh ini tidak tampak aparat polisi seperti pada kematian-kematian sebelumnya. Tak ada delik tak ada polisi.

Tetapi justru kematian seperti ini adalah peristiwa yang baru pertama kali terjadi.  Selama aku tinggal di kampung ini, telah berpuluh-puluh orang yang mati. Semuanya mati direnggut maut dengan paksa. Ya, dengan paksa! Dibacok celurit, ditebas pedang, ditembus timah panas bahkan dibakar hidup-hidup. Yang agak ringan barangkali mati menenggak obat atau gantung diri.

Aku tidak pernah paham mengapa semua kematian di kampung  ini didahului dengan cara-cara yang beringas seperti itu. Atau mungkin seperti anggapan orang-orang bahwa tanah kampung ini memang “panas”, tanah yang kena kutukan dan sampai kiamat akan selalu menagih tumbal. Konon, tanah kampung ini dulunya adalah pemberian Walikota kepada  seorang jagoan yang juga berprofesi sebagai muncikari bernama Samun, sebagai imbalan atas jasanya mengusir penduduk dari tanah yang akan dijadikan  lahan pembangunan sebuah pusat perbelanjaan. Bersama puluhan preman yang ikut membantunya, Samun menjadikan tanah itu sebagai wilayah hunian.

Untungnya bagi sang Walikota, muncikari dan para preman itu dapat dijadikan sebagai tenaga yang efektif untuk “menyelesaikan” banyak persoalan . Entah itu persoalan yang menyangkut wilayah publik maupun masalah pribadinya sendiri.

Meskipun banyak kejadian yang menguras air mata dan darah oleh makan tangan kelompok Samun, namun tak seorang pun mampu mengendus sampai ke baju dinas Pak Walikota. Kendati baunya terasa  berhembus dari kantor Sang Walikota.

Mirip bos mafia, Sang Walikota meringkus hampir seluruh bisnis dunia kegelapan di dalam genggamannya. Begitu pun dengan walikota-walikota berikutnya

***


Kematian Kustiyah yang tidak wajar mendadak menjadi aneh bagi kami, dan kini mulai menimbulkan kebingungan. Warga di sepanjang gang sempit ini tidak memiliki pengalaman menghadapi kematian seperti ini.  

“Ada yang tahu almarhumah beragama apa?” Pertanyaan Pak Sudi mengawali pangkal bala kebingungan itu.

 Tiba-tiba banyak orang yang baru menyadari bahwa selama ini mereka kurang awas terhadap Kustiyah. Kenapa sekarang baru merasa penting mengetahui apa agamanya?  

Orang-orang saling berpandangan. Celingukan, pura-pura mencoba mencari jawab.

“Apa pentingnya?”

“Kalau kita tidak tahu apa agamanya, lalu dengan cara bagaimana mengurus penguburannya?”

Seseorang mengacung tangan, “Kita lihat saja KTP-nya!”

O, Benar juga. Dari KTP tentu bisa diketahui siapa tuhannya. Beberapa orang kemudian mencoba menggeledah tas dan dompet,  bahkan beberapa celana jeans yang tergantung di dinding dipreteli kantungnya. Pak Sudi menelusupkan jarinya ke seluruh kantung celana yang masih dipakai Kustiyah. Sayang semua upaya itu tak membuahkan hasil.

Seluruh ruang  kost itu dipelototi, kalau-kalau terpampang gambar atau tulisan yang mengisyaratkan identitas keberagamaan Kustiyah. Tapi sepertinya perempuan itu tidak begitu menyukai dekorasi. Seluruh bagian dindingnya kostnya polos tanpa selempar poster pun, kusam dan menguning. Pasti dibaluri asap rokok karena terasa dari bau nikotin yang  menyengat.

“Bagaimana ini?” pertanyaan datang dari kerumunan.

“Tapi begitu pentingkah agama buat orang yang sudah mati?” tanya yang lain.

“Penting! Kita yang mendapat amanat mengurus mayat ini.” Pak Sudi menyahut. “Kita harus tahu latar belakang mayat ini. Apa agamanya. Kalian harus paham, tidak mungkin saya menyembahyangkan mayat yang bukan muslim. Saya tidak mau ambil resiko!”

Ah, lagaknya seperti ustad lulusan pesantren tersohor saja. 

“Tak adakah sajadah, mukena atau lainnya?”  Lagi, suara kebingunan dari balik kerumunan.

“Atau barangkali dia bukan seorang muslim? Buktinya kita tidak pernah lihat dia shalat?”

“Lha, saya juga nggak pernah lihat sampeyan shalat!”

“Yaa... elaah! Situ nggak usah ngurusin saya! Masalah kita sekarang,  ya mayat  ini! Lagi pula  urusan shalat mah urusan sendiri-sendiri.”

Dari balik kerumunan seorang lelaki berkaca mata menyeruak ke tengah sambil mengacungkan telunjuknya. Di lehernya tergantung kalung salib berwarna perak, berkilat-kilat.

“Begini saja,” ia berkata sambil memegang sebelah kaki mayat, “Saudara-saudara tahu apa keyakinan  saya bukan? Kalau memang bagi saudara yang muslim berisiko mengurusi mayat ini, biarlah saya saja yang ambil alih. Kita tak menemukan bukti kalau dia seorang muslim. Anggap saja mayat ini punya keyakinan sama dengan saya. Saya akan menguburkannya sesuai keyakinan saya.”

Mendadak Pak Sudi bangkit berdiri.

“Jadi situ hendak memurtadkannya? Wah, saya tidak bisa terima situ mau mengubah iman orang ini!”

“Lho, mengubah gimana? Bukankah kita semua di sini sama-sama tidak mengetahui agama mayat ini? Toh, Bapak sendiri tidak  mau mengambil risiko, bukan? Kalau begitu, saya akan mengambil risiko itu dan kita bisa segera mengurus mayat ini.”

“Lha! enggak bisa seenaknya begitu, Mas! Kita bukannya tidak tahu agama almarhumah ini, tapi belum tahu! Kita sedang mencari tahu. Coba, ada yang punya petunjuk, silakan utarakan. Mungkin pernah bergaul intim, eh,  maksud saya pernah akrab dengan almarhumah semasa hidupnya?”

 Sayalah orangnya! Aku  bersorak dalam hati. Puluhan kali sudah jok motor saya merasakan hangatnya pantat Kustiyah, mengantarnya sampai ke pangkalan taksi. Tapi, oalaaah...! Mana pernah aku berani tanya ini–itu sementara jantungku berdegub mau terbanting manakala ia melingkarkan tangannya di pinggang dan menyandarkan dadanya di punggungku. Seakan-akan aku ini kekasih yang mengajaknya raun-raun.

“Saya pernah melihatnya ikut dalam rombongan Pak Walikota.” Tiba-tiba seorang yang berkepala plontos mengacung tangan. “Kalau tidak salah waktu Pak Wali meresmikan Gelanggang Remaja.”

“Hati-hati menyangkutkan persoalan ini dengan Pak Wali. Kalau sampeyan tidak bisa membuktikan, salah-salah bisa dituduh mencemarkan nama baik. Ingat toh?” sergah Pak Sudi. Yang berkepala plontos mengkerut diingatkan dengan ancaman.

“Ini kali pertama warga kita meninggal dengan cara yang tidak wajar. Jadi kita harus mengurusnya sebagaimana mestinya. Jangan memalukan kampung kita.  Ingat, kematian seperti ini dan bagaimana kita mengurusnya akan jadi poin plus penilaian soal keamanan kampung ini.” Pak Sudi menjelaskan.

“Maksudnya, supaya dianggap aman?” celetuk seseorang.

“Tapi kita toh tidak tahu dengan cara bagaimana mengurusnya? Kalau nggak tahu agamanya, barabe juga!”

“Main kubur aja entar malah jadi gentayangan. Bisa jadi ‘kan?”

“Atau kita laporin polisi saja, Pak!”

Pak Sudi mendelik ke arah si pengusul. “Kalau usul sampeyan dituruti, musti ada buntutnya. Sampeyan mau direpotin jadi saksi?”

“Mayat ini tak membantu kita dengan identitas apapun. Tak ada KTP, kita tidak tahu siapa tuhannya. Orang ini gelap bagi kita.”

“Sejak kampung ini ada, semua kematian di sini tak pernah jadi urusan kita. Semua ditangani polisi. Masalah ini juga gelap bagi kita.”

“Kalau mau, biar ikut cara kami saja, mayat ini diperabukan saja. Gampang, ndak perlu tanah kuburan segala...”

Kerumunan di rumah kontrakan itu makin membesar.  

Bersitegang memastikan identitas keimanan Kustiyah yang terbujur kaku di tengah rumah kontrakan yang sumpek.

 Aku nyaris tergencet di tengah kerumunan. Sejak tadi aku ingin menyampaikan pendapat, bahwa mayat ini sudah tidak butuh apa-apa lagi. Tidak penting baginya apa agama yang pernah dianutnya, bahkan tidak juga penting apakah ia akan dikubur atau tidak. Apapun agamanya, bahkan andai ia seorang atheis, ia harus dikuburkan. Membiarkannya terlantar justru dapat menyebarkan bau busuk, menyebarkan penyakit.

Tapi aku tidak terbiasa bicara di depan orang banyak.  

Berjam-jam ketegangan itu terus berlangsung. Aku tidak tahu lagi siapa saja yang bicara. Yang terdengar hanya suara-suara keras beradu mulut mempertengkarkan kemauan. Tak berujung pangkal. Ada yang berebut hendak mengkremasi mayat itu. Yang lainnya mengatakan bahwa tuhan akan melaknat kampung mereka jika mayat itu tidak diurus sesuai aturan agama, sambil menuding-nuding telunjuknya. Pertengkaran bahkan melebar menjadi saling mengejek. Tak ada yang mampu menguasai amarah. Semuanya tengah dirasuki birahi mempertontonkan kepada orang banyak siapa tuhan mereka dalam kesempatan yang langka dan  sangat mistis ini: kematian Kustiyah yang tidak biasa.

Praaang….!

Tiba-tiba terdengar deram kaca jendela.  Ketegangan itu pun berubah jadi malapetaka. Rupanya perdebatan telah menyulut emosi. Ada yang tersinggung. Dan, entah siapa yang memulai,  kerumunan berubah menjadi baku hantam. Aku tidak bisa memastikan siapa di pihak yang mana. Aku meringis menahan sakit akibat tonjokan di pangkal telinga. Sementara darah terlihat berceceran di mana-mana.

Satu truk polisi akhirnya datang.

Beberapa kali tembakan peringatan menghentikan baku hantam. Setelah membentangkan police line dan menginterogasi beberapa orang akhirnya polisi menahan Kustiyah, mayat yang tidak diketahui siapa tuhannya tersebut.


PondokKelapa,2006                                                              

Oce E Satria. Lahir di Simabur, Sumatera Barat 17 September 1971. Alumnus FH Unand Padang. Tinggal di, Jakarta
Redaksi TNCMedia

Support media ini via Bank Rakyat Indonesia (BRI)- 701001002365501 atau melalui Bank OCBC NISP - 669810000697

Posting Komentar

Silakan Berkomentar di Sini:

Lebih baru Lebih lama